comment this page



Senyawa Metabolit Sekunder

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumbuhan merupakan sumber utama senyawa-senyawa kimia yang digunakan untuk industri farmasi, industri makanan, minyak wangi. Banyak dari senyawa tersebut diekstrak dari tumbuhan tropis, namun karena ketersediaan, biaya yang mahal serta struktur senyawa tersebut yang sangat kompleks, hal ini menjadi tidak ekonomis.
Metabolit sekunder tanaman dihasilkan dari proses metabolisme respirasi dan melalui kultur jaringan dapat ditingkatkan kandungan metabolit sekunder bahkan dari yang tidak ada menjadi ada dengan penambahan senyawa-senyawa yang merupakan prekursor.
Dalam usaha menghasilkan metabolit sekunder untuk skala besar, sangat diperlukan pemahaman yang besar tentang tingkah laku sel, biosintesis metabolit sekunder didalam tubuh tanaman tersebut. Oleh karena itu, biosintesis metabolit sekunder dengan menggunakan kultur jaringan menjadi alternatif pilihan dan akhirnya menjadi tujuan yang berharga. Namun dari banyak penelitian dan usaha komersial, masih banyak menghadapi kendala.
Peranan biteknologi dalam budidaya, multipikasi, rekayasa genetika dan skrining mikroba endofit yang dapat menghasilkan metabolit sekunder sangat penting dalam rangka pengembangan bahan obat yang berasal dari tanaman bat ini. Bahkan dengan kemajuan yang pesat dalam bidang bioteknologi ini telah dapat diihasilkan beberapa jenis tanaman transgenik yang dapat memproduksi vaksin rekombinan.
Salah satu bentuk perkembangan bioteknologi adalah proses peningkatan produksi terhadap produksi metabolit sekunder. Hal ini dilakukan untuk dapat menghasilkan suatu produk metabolit sekunder yang bersifat unggul dan jumlahnya melimpah.

B. Batasan Masalah
Masalah dalam makalah ini dibatasi pada:
1. Keuntungan pemakaian teknik kultur jaringan tanaman.
2. Faktor-faktor yang mempenagruhi produuksi senyawa metabolit sekunder.
3. Usaha-usaha memperbaiki produksi metabolit sekunder.

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui keuntungan pemakaian teknik kultur jaringan tanaman.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempenagruhi produksi senyawa metabolit sekunder.
3. Mengetahui usaha-usaha memperbaiki produksi metabolit sekunder.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Metabolit Sekunder
Produksi metabolit sekunder pada tanaman biasanya memiloki kadar yang sedikit. Metode biteknologi telah terbukti dapat meningkatkan pproduksi beberapa metabolit sekunder pada tanaman. Metabolit sekunder merupakan senyawa yang tidak terlibat langsung dalam pertumbuhan, perkembangan, atau reproduksi makhluk hidupyang fungsinya masih belum diketahui secara pasti.senyawa ini biasanya digunakan untuk pertahanan dan perkembangbiakan tanaman.
Metode bioteknologi telah terbukti dapat meningkatkan produksi beberapa metabolit sekunder pada tanaman. Salah satu metode bioteknologi yang dimanfaatkan untuk memproduksi metabolit sekunder adalah kultur jaringan tanaman. Kultur jaringan adalah budidaya organ, jaringan, sel atau bagian sel didalam suatu media yang sesuai secara aseptik dengan tujuan tertentu yang sifatnya akan sama dengan sifat genetik induknya.
Beberapa keuntungan pemakaian teknik kultur jaringan untuk memproduksi senyawa metabolit sekunder antara lain:
1. Tidak tergantung faktor lingkungan (hama, penyakit, iklim, hambatan geografis)
2. Sistem produksi dapat diatur, produksi dapat dilakukan pada saat dibutuhkan dan dalam jumlah yang diinginkan.
3. Kualitas hasil produksi lebih konsisten
4. Mengurangi penggunaan lahan
Teknologi kultur sel memerlukan modal besar pada awalnya, karena memerlukan bangunan dan peralatan yang memadai. Tetapi ada hal yang lebih penting lagi yaitu terdapat indikasi bahwa perkembangan teknologi kultur sel berjalan sangat lambat karena kurangnya pengetahuan mendasar tentang hal ini.
Industri farmasi merupakan industri yang didukung oleh senyawa-senyawa alami dari tumbuhan. Sampai batas-batas tertentru senyawa tersebut tidak dapat diganti dengan senyawa sintetik, karena daya kerja aktifnya untuk dapat menyembuhkan penyakit.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi senyawa metabolit sekunder
1. Ekspresi Sintesis Senyawa Metabolit Sekunder
Sintesis senyawa metabolit sekunder dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: faktor genetik, faktor didalam kultur, dan faktor diluar kultur. Faktor-faktor ini bervariasi tergantung pada jenis kultur jenis yang dipergunakan. Faktor-faktor ini dapat dimanipulasi secara tertentu untuk menghasilkan senyawa yang diinginkan dalam jumlah yang besar. Sebelum membahas faktor-faktor tersebut akan diuraikan secara ringkas ekspresi sintesis senyawa metabolit sekunder pada keadaan in vivo dan in vitro. Ekspresi senyawa metabolit sekunder tergantung pada tahap-tahap perkembangan organisme yang menghasilkannya. Diferensiasi sel menentukan sintesis senyawa tersebut. Contoh jelas dalam hal ini misalnya senyawa pigmen antosianin dihasilkan oleh tenaman pada umbi sedang pada umbi sedang pada tanaman lainnya ditemukan pada bunga atau buah, atau kadang-kadang pada daun.
Pada kultur in vitro produksi senyawa metabolit sekunder juga sering kali berasosiasi dengan diferensiasi sel atau jaringan kultur yang dikulturkan. Walaupun banyak seyawa metabolit sekunder berhasil diproduksi oleh sel tetapi jumlah senyawa tersebut terkadang lebih renah dari pada bila sel berdiferensiasi membentuk sel lain. Sebagai contoh, kandungan senyawa vinblastin dan vincristin (yang merupakan senyawa yang dapat digunakan sebagai obat anti kanker leukemia) pada daun hasil kultur jaringan lebih tinggi dari pada kalus. Dengan demikian untuk mendapat alkaloid tersebut dalam jumlah besar dengan teknik kultur jaringan, eksplan yang ditanam harus diarahkan untuk membentuk daun dari pada pembentukan kalus.
Pada kultur Polygonum thinchtorium Ait, senyawa anti jamur (antifungal compound) yang dihasilkan oleh akar berambut jumlahnya lebih besar daripada yang dihasilkan oleh kalus, sebaliknya dalam kultur yang sama, kultur halus menghasilkan antosianin dalam jumlah yang lebih besar dari pada kultur akar berambut. Hal ini berhubungan sekali dengan tanaman in vivo, dimana senyawa anti jamur banyak ditemukan pada akar dari pada dibagian lain dari tanaman, sedang senyawa antosionin ditemukan pada batang dan bunga teapi tidak ditemukan pada akar. Dengan demikian perlu untuk mengetahui jenis kultur paling tepat untuk menghasilkan senyawa tertentu meskipun secara umum biasanya diharapkan kultur kalus atau suspense sel karena dengan sel-sel tunggal yang aktif membelah diri terus mnerus, maka diharapkan beberapa perilaku sel tersebut akan menyerupai mikro organisme sehingga dapat dikulturkan dalam fermentor atau bioreactor.
Selain diferensiasi sel, ekspresi senyawa metabolit sekunder juga tergantung pada regulasi jumlah dan aktivitas enzim yang terlibat dalam biosintesis senyawa tersebut. Jumlah enzim yang aktif dalam metabolism sekunder merupakan resultan dari sintesis dan degradasi enzim yang terjadi selama proses metabolism. Pada keadaan alami, jumlah aktivitas enzim yang terlibat dalam metabolisme sekunder sering di induksi oleh trigger alami seperti suhu, cahaya matahari, atau invasi mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit tertentu pada tanaman yang menyebabkan terjadinya respon resistensi yang dapat diinduksi atau keadaan stess lain. Trigger ini akan menginduksi sintesis enzim yang ekspresinya tergantung pada sintesis de novo RNA dan protein. Peningkatan jumlah enzim yang terlibat dalam metabolisme sekunder juga aka meningkatkan senyawa metabolit sekunderyang dihasilkan.
Aktivitas enzim yang terlibat dalam metabolit sekunder dipengaruhi antara lain oleh jalan masuknya oleh precursor senyawa yang bersangkutan, dan akumulasi produk metabolit sekunder yang dihasilkan. Hal ini berhubungan dengan “sink”nya berbeda dari “source”nya maka kemungkinan terjadinya produk inhibitor dengan interaksi allosterik atau kompetisi substrat pada sisi ikatannya dapat dihindarkan. Senyawa-senyawa yang bersifat lipofilik berakumulasi diluar sitoplasma sedang senyawa hidrofilik berakumulasi diluar sitoplasma, misalnya dalam vakuola.
Dalam kultur in vitro kalus dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril, didalam media yang mengandung auksin dan kadang-kadang dengan penambahan sitokinin. Secara ilmiah kalus pada dasarnya dapat juga dibentuk oleh tanaman, umumnya kalus seperti ini terbentuk dari upaya perlindungan tanaman. Kalus terbentuk pada tanaman yang mengalami perlukaan (aksi bakteri, gigitan serangga). Secara in vitro kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi bagian yang berbeda dapat menunjukkan kecepatan inisiasi dan pertumbuhan kalus yang berbeda pula. Secara in vivo, kalus pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikroorganisme atau tusukan serangga dan nematode.
Kalus yang ditumbuhkan pada suatu media perlu dipindahkan secara periodik dalam waktu tertentu. Masa kultur panjang dalam media menyebabkan terjadinya kekurangan air dan hara. Kehilangan air terjadi karena selain terhisap untuk pertumbuhan, juga karena media menguapkan air dari masa kemasa. Selain kehilangan hara, sel-sel pada kalus juga mengeluarkan senyawa-senyawa hasil metabolism yang dapat menghambat pertumbuhan kalus itu sendiri.
Ekspresi senyawa metabolit sekunder juga tergantung pada regulasi jumlah dan aktivitas enzim yang terlibat dalam biosintesis senyawa tersebut. Pada keadaan alami jumlah aktivitas enzim yang terlibat dalam metabolism sekunder sering diinduksi oleh suhu, cahaya matahari, atau invasi microorganisme yang dapat menyebabkan penyakit tertentu pada tanaman yang menyebabkan terjadinya respon resistensi yang dapat diinduksi oleh keadaan sters lainnya.
Aktifitas enzim yang terlibat dalam metabolit sekunder dipengaruhi antara lain oleh jalan masuknya dari prekursor senyawa yang bersangkutan, dan akumulasi produk metabolit sekunder yang dihasilkan. Dalam sistem in vitro cahaya matahari digantikan oleh lampu neon yang berwarna putih atau ultraviolet, sedang inisiasi mikroorganisme digantikan dengan penggunaan elicitor.

2. Asal Eksplan
2.1. Karakteristik genetik dan fisiologis
Selanjutnya akandiuraikan percobaan untuk menghasilkan metabolit dalam kultur in vitro. Tahap pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan analisis jaringan tanaman in vivo untuk mengetahui bagian tanaman yang mempunyai kandungan tertinggi senyawa yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan teori totipotensi biokimia sel, dimana sel tertentu dari tanaman mempunyai potensi genetik yang diturunkan untuk menghasilkan senyawa dalam sistem in vitro seperti halnya dengan in vito. Berdasarkan teori ini, tanaman mempunyai kandungan senyawa tertentu dalam jumlah besar juga mampu menghasilkan senyawa yang sama dalam jumlah besar pula apabila tanaman tersebut dikulturkan dalam kondisi in vitro.
Deteksi terhadap senyawa yang diinginkan ini dapat dilakukan secara kurang teliti dengan metode yang sederhana, seperti dengan mempergunakan Thin layer Chromotography. Senyawa-senyawa tertentu dapat diketahui keberadaannya hanya dengan cara visual, misalnya senyawa antosianin atau senyawa-senyawa lain yang termasuk golongan pigmen. Seringkali deteksi ini dilakukan diantara kultivar dalam satu spesies tanaman tertentu karena kultivar yang berada memiliki potensi biokimia yang berbeda pula, yang diturunkan secara genetik.
Selain pertimbangan potensi genetik yang ada pada tanaman di lapang, faktor lain yang harus diperhatikan adalah umur fisiologi eksplan dan bagian tanaman yang dipilih. Umur fisiologi eksplan sangat penting karena semakin muda umur fisiologinya, keberhasilan kultur semakin besar. Untuk mendapatlan umur fisiologi yang muda dapat dilakukan grafting dari tanaman yang tua dan dari tanaman hasil grafting tersebut dapat diisolasi eksplan yang mempunyai umur fisiologi yang jauh lebih muda.
Umur fisiologi yang paling muda mempunyai keberhasilan yang lebih tinggi dalam menginduksi kalus atau organ lain. Hal ini berhubungan dengan juvenilitas eksplan. Bagian tanaman yang dipergunakan sebagai sumber eksplan juga mempengaruhi senyawa yang dihasilkan. Selanjutnya, sumber eksplan yang dipilih kadang-kadang perlu diberikan “pre treatment” sebelum digunakan dalam kultur in vitro. Pre treatment ini mencakup antara lain musim dimana sebaiknya bahan tanaman diambil, pemberian hara tanaman tertentu untuk merangsang juvenilitas pada tanaman misalnya dengan pemberian nitrogen, menanam pada kondisi gelap untuk mendapatkan tanaman yang terisolasi, dan pemberian zat pengatur tumbuh tertentu pada eksplan sesudah diisolasi tapi belum ditanam pada media perlakuan untuk meningkatkan respon tanaman terhadap perlakuan yang diberikan.

2.2. Pemantapan kultur suspensi sel
Suspensi sel adalah kumpulan atau agregat-agregat sel yang berasal hasil pemindahan potongan kalus kedalam botol kultur berisi medium cair yang disimpan di atas alat penggojok (“gyratory shaker”). Penggojokan dilakukan untuk tujuan penyediaan aerasi bagi sel-sel tersebut, pemecahan gumpalan sel menjadi agregat yang kecil atau sel tungal dan untuk distribusi sel yang merata dalam media kultur. Inisiasi kultur suspensi sel umumnya dilakukan dengan cara yang sederana yaitu dengan memindahkan kalus segar kedalam media cair dalam botol erlenmeyer dan dikocok dengan meletakannya diatas shaker dengan kecepatan antara 70-100 rpm.
Umumnya sel-sel dalam suspensi menunjukkan laju pembelahan sel yang lebih tinggi dibandingkan dengan sel-sel dalam kultur kalus. Oleh karena itu suspensi sel memberikan keuntungan apabila kita menginginkan pembelahan sel yang cepat dan generasi sel yang banyak atau apabila diperlukan aplikasi perlakuan yang seragam selama prosedur seleksi sel. Pertumbuhan suspensi sel dapat dimonitor berdasarkan satuan volume sel yang berkorelasi dengan pertumbuhan berat segar. Densitas sel dapat diperkirakan dan dipantau menggunakan alat haemocytometer.
Kultur suspensi sel merupakan metoda yang cocok untuk mempelajari metabolisme sel, pengaruh berbagai persenyawaan ada sel, serta diferensiasi sel. Aplikasi kultur suspensi sel banyak digunakan sebagai: (i) sumber sel untuk mendapatkan protoplasma; (ii) sumber sel yang akan diberi perlakuan induksi mutasi; (iii) bahan untuk mempelajari hubungan inang dan penyakit dalam fitopatologi; (iv) metoda produksi bahan metabolit sekunder; dan (v) sumber sel untuk media seleksi.
Kultur suspense biasanya dimulai dari mensubkulturkan potongan kalus ke media cair, kesuali kultur suspense juga dapat menggunakan potongan organ sebagai eksplan hanya saja teknik ini memerlukan waktu yang lebih lama. Pembelahan sel secara bertahap akan terlepas dari sel induk bebas bergerak didalam inokulum karena adanya gerakan dari medium. Setelah beberapa saat kultur akan tersusun atas sel tunggal dan kumpulan sel dengan ukuran yang bervariasi, sisa potongan eksplan dan sisa-sisa sel mati. Dalam kultur kalus dan suspense sel dikenal istilah friabel yang maksudnya adalah sel-sel terpisah setelah mengalami pembelahan sel. Bentuk suspense sel yang bagus adalah kultur yang persentase kandungan sel tunggal dan kumpulan sel-sel kecilnya tinggi. Derajat pemisahan sel pada kultur telah dicirikan adanya sifat friabilitas dari sel tersebut, sifat tersebut dapat dimunculkan atau diinduksi dengan mengubah komposisi unsure hara media. Seperti pada penambahan auxin dari pada sitokinin pada beberapa masalah dapat memacu produksi sel yang friabel. Namun sebaliknya ada beberapa kultur malah menjadi terhambat proses friabilitasnya. Jadi tidak ada prosedur standar yang dapat direkomendasikan untuk memulai kultur suspense sel dari kalus, maka untuk memilih kondisi yang sesuai harus melakukan coba-coba.
Sistem pemeliharaan suspensi sel dapat dilakukan dengan cara kultur batch dan continous. Pada kultur suspensi sel batch, kultur dipelihara dalam media dengan volume tetap tetapi dengan konsentrasi hara yang berubah sesuai dengan tingkat pertumbuhan sel.
Pada sistem ini biomasa sel akan bertambah sesuai kurva sigmoid dan setelah mencapai masa tertentu sel akan berhenti membelah karena kehabisan hara atau akumulasi senyawa metabolik yang bersifat toksik. Setelah mencapai fase ini biakan harus diperbaharui dengan cara mensubkultur sebagian sel pada media baru. Suspensi sel dengan sistem berkelanjutan (continuous system) merupakan kultur sel jangka panjang dengan suplai hara yang konstan dalam wadah yang relatif lebih besar. Pada sistem ini media kultur dapat ditambahkan atau ganti dengan media baru sehingga sel-sel baru dapat terus dihasilkan. Kultur sel kontinyu terdapat dua tipe yaitu tipe tertutup (closed type) dan tipe terbuka (open type). Pada tipe tertutup, sel akan bertambah terus tanpa dipanen dan hanya media yang disirkulasi. Sedangkan pada tipe terbuka, penambahan media baru disertai dengan pemanenan sel.

3. Kondisi-kondisi yang Mempengaruhi Kultur In Vitro
Pertimbangan utama dalam menentukan kondisi kultur yang sebaiknya dipakai adalah:
a. Biomassa yang dihasilkan
b. Konsentrasi senyawa yang diinginkan
Kombinasi dari keduanya itu ditunjukkan untuk menghasilkan senyawa yang diinginkan tersebut sejalan dengan produksi biomassa, atau sebaliknya, sintesis senyawa yang diinginkan tersebut tidak berhubungan dengan produksi biomassa. Secara fisiologis, hal ini dapat diterjemahkan dengan mempergunakan kurva pertumbuhan dari sel-sel yang dikulturkan, apakah senyawa yang diinginkan diuproduksi maksimum pada lag phase, log phase atau stationary phase.
Dengan mengetahui sifat fisilogisnya, manipulasi dapat dilakukan untuk menghasilkan senyawa tersebut sebanyak mungkin. Sebagai contoh, betasianin, senyawa pigmen, dihasilkan paling banyak pada data log phase sedang antosianin maksimum diproduksi pada saat stationary phase (Komamine, 1988). Dengan demikian, kondisi yang diperlukan untuk memproduksi betasianin sangat jelas berbeda dari yang dibutuhkan untuk antosianin. Di alam, produksi biomassa sangat tergantung pada penumpukan fotosintesa yang berupa karbohidrat atau turunannya. Pada kultur jaringan, biomassa yang dihasilkan sangat tergantung pada kecepatan sel-sel tersebut membelah diri, memperbanyak diri yang dilanjutkan dengan pembesaran sel. Kecepatan sel membelah diri, memperbanyak diri yang dilanjutkan dengan pembesaran sel. Kecepatan sel membelah diri dapat dipengaruhi oleh adanya kombinasi auksin-sitokinin tertentu dalam konsentrasi tertentu pula yang tergantung pada tanamannya, juga faktor-faktor lain seperti jenis media, ketersediaan unsure hara makro atau mikro, supply karbohidrat, adanya supplement seperti air kelapa, dan juga faktor-faktor fisik seperti cahaya, pengocokan, suhu, pH media dan sebagainya.

C. Usaha-Usaha Memperbaiki Produksi Metabolit Sekunder
1. Penggunaan Fusi Sel Untuk Produksi Senyawa Metabolik Sekunder
Minat yang besar dalam memproduksi senyawa-senyawa yang berguna seperti alkaloid, steroid, vitamin dan pigmen sangat meningkat dengan perkembangan teknologi sel tanaman. Beberapa usaha untuk menghasilkan senyawa-senyawa metabolit pada skala industri sudah dilaporkan (Curtin, 1983).
Metabolit sekunder dihasilkan oleh kultur sel tanaman. Meskipun demikian, produktivitas kultur sel masih lebih rendah daripada produktivitas tanaman di lapang. Akhir-akhir kultur ini sudah dilaporkan beberapa lini sel yang berhasil dimantapkan dengan melakukan seleksi. Lini-lini sel ini menghasilkan senyawa metabolit sekunder dalam jumlah besar. Kultur protoplast juga sudah digunakan untuk pemuliaan tanaman, untuk mendapatkan muatan yang resisten terhadap obat-obatan, dan auxotrof serta untuk hibridisasi somatik. Sebagian besar tanaman yang dipelajari berasal dari genus solanaceae. Teknologi protoplast yang dikembangkan dari kultur protoplast yang berasal dari lini-lini sel yang menghasilkan metabolit sekunder dalam jumlah besar akan menjadi bidang yang penting dalam teknologi kultur jaringan tanaman. Kultur protoplast penting untuk menyeleksi sel tunggal yang mengandung metabolit sekunder dalam jumlah tinggi.
Yamada (1985) sudah mengkulturkan protoplast (klon sel tunggal) dari lini sel Coptis yang memproduksi sejumlah besar berberine. Dari protoplast tersebut kemudian berhasil diinisiasi koloni kalus dan kandungan berberinnya dianalisis. Ternyata kemudian didapatkan bahwa lini-lini sel yang berasal dari protoplast mempunyai kandungan berberin yang serupa dengan lini sel induknya. Pertumbuhan lini sel dari protoplast lebih besar dari pada lini sel induknya. Hal yang menarik adalah lini-lini sel yang berasal dari protoplast menunjukkan variasi kromosom meskipun setiap klon diturunkan dari protoplast tunggal.
Tanaman tingkat tinggi adalah organisme multiseluler yang terdiri dari sel-sel, jaringan yang berdiferensiasi. Sel-sel yang berdiferensiasi mempunyai potensi untuk memproduksi senyawa spesifik dalam jumlah dan kelakuan yang stabil. Dalam hal ini, sel tumbuhan berbeda dari sel mikroorganisme, seperti bakteri, dimana cloning sel tunggal dapat dilakukan dengan sangat efektif untuk mendapatkan sel yang mempunyai karakter yang spesifik. Untuk diferensiasi metabolit sekunder, metoda seleksi yang dipilih harus berbeda dari metoda seleksi yang digunakan untuk berguna untuk mengisolasi sel tunggal yang mampu menghasilkan metabolit sekunder dalam jumlah besar. Produktivitas metabolit sekunder yang dihasilkan dengan kultur sel adalah fungsi dari jumlah metabolit pada sel dan kecepatan pertumbuhan sel. Dengan mempergunakan kultur protoplast, hal ini penting untuk mendapatkan lini sel yang tumbuh sangat cepat akan menghasilkan hibridoma tanaman.
2. Seleksi sel
Seleksi Klon pada kultur jaringan tanaman telah digunakan untuk mendapatkan lini sel yang menghasilkan produk metabolit sekunder dalam jumlah besar. Seleksi ini telah berhasil meningkatkan metabolit sekunder pada beberapa lini sel tanaman. Pada tanaman Morinda citrifolia seleksi telah meningkatkan produksi anthraquinone 10 kali lebih tinggi dari pada tanaman dilapang (Zenk et al., 1975). Pada tanaman ubi jalar, lini sel yang menghasilkan antosianin tinggi juga dihasilkan dengan cara seleksi kultur kalus (Nozue et al., 1986). Sedang pada tanaman Polygonum tinchtorium Ait, seleksi agregat telah meningkatkan kandungan antosianin 4 kali kultur tanpa seleksi pada kultur suspensi sel telah menghasilkan 10 kali lebih tinggi (Ernawati et al., 1991 a, b). Yamamoto et al.,(1982) melaporkan bahwa seleksi lini sel pada Euphorbia millii meningkatkan kandungan antosianin tujuh kali lebih tinggi dari kandungan awalnya. Demikian juga Yamada dan Sato (1981) mendapatkan lini sel Coptis japonica yang menghasilkan berberine yang lebih tinggi dari pada tanaman aslinya.
Dasar dari seleksi pada kultur jaringan untuk menghasilkan senyawa-senyawa metabolit sekunder adalah adanya variasi pada sel-sel dalam kemampuannya untuk menghasilkan senyawa tertentu. Variasi ini dikenal sebagai variasa somaklonal dan secara genetik variasi ini cukup besar sehingga telah terbukti dapat dimanfaatkan sebagai sumber keragaman untuk menghasilkan senyawa tertentu. Variasi somaklonal ini dapat diperoleh dari kultur sel yang berasal dari protoplast atau cara¬-cara lain.
Jenis seleksi yang digunakan relatif spesifik tergantung jenis senyawa yang dihasilkan. Jenis senyawa yang dihasilkan ini menentukan disain metode seleksi dan memilih lini sel untuk digunakan. Hal mendasar yang harus diketahui adalah inisiasi kultur awal harus mempertimbangkan spesies dan kultivar yang menghasilkan senyawa yang bersangkutan.
Untuk mendesain cara seleksi yang harus dipertimbangkan tidak hanya aspek biokimia dari senyawa yang diinginkan dan spesies tanaman yang dikulturkan, tetapi juga jenis kultur yang dipakai.
Penggunaan kultur kalus pada banyak study dibatasi oleh kontak langsung sel dengan medium, karena sel-selnya berikatan sate sama lain. Dalam hal ini juga sulit untuk melakukan pemindahan / sub kultur yang seragam baik jumlah / massa sel maupun keseragaman tipe sel jika memindahkan sekelompok kecil dengan spatula.
Selain kultur kalus, sistem yang telah digunakan adalah sistem kultur suspensi sel. Sistem kultur suspensi mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu mencakupu:
1. Kecepatan pertumbuhan yang lebih cepat
2. Transfer/sub kultur sel relative homogeny
3. Sel-sel yang ada dapat diamati dengan mikroskop karena merupakan sel-sel bebas
4. Medium cair berada dalam kontak langsung dengan setiap sel
5. Medium dapat diperbaharui dengan mudah dengan penambahan medium baru
6. Sel-sel dapat diplating secara langsung
Sistem kultur suspensi sudah digunakan untuk menyeleksi lini-lini sel yang resisten terhadap asam amino (Gathercole dan Street, 1976; Palmer dan Widholm, 1975; Widholm, 1972; Widholm 1974) dan NaCl (Nabors et al, 1975). Emawati et al. (1991 b) jugs mempergunakan sistem ini untuk mendapatkan lini yang menghasilkan antosianin.
Seleksi Klon adalah teknik yang sangat berguna dimana, sebuah lini sel berasal dari sebuah sel tunggal sehingga sel-sel dalam satu lini mempunyai informasi genetik yang sama. Hal ini sangat penting untuk memastikan kemurnian dan stabilitas lini¬lini yang diinginkan. Tetapi pada umumnya teknik pengklonan ini sangat tidak efisen untuk dikerjakan secara rutin. Salah satu sistem yang mungkin digunakan adalah mikrospora yang diisolasi dari Nicotiana tabacum, Nicotiana sylvestris dan Datura innoxia sudah diinduksi untuk membentuk embrio dan kemudian menjadi tanaman. Sistem ini memungkinkan isolasi sel tunggal, yaitu sel-sel haploid yang mungkin sangat berguna untuk seleksi. Kesesuaian teknik ini tergantung pada jumlah embrio yang dapat diperoleh. Nitsch (1977) mendapatkan bahwa rata-rata 5% dari \ mikrospora Nicotiana tabacum berkembang menjadi platlets. Karena terdapat 5 anther pads setiap bunga, dan setiap anther mengandung 30.000 mikrospora, maka rata-rata 7000 plantlet dapat diproduksi dari setiap, bunga. Karena itu terdapat sejumlah besar dari embrio yang sedang berkembang dapat diperoleh dengan sistem ini. Kenyataan sampai saat ini adalah bahwa tidak mudah bekerja dengan set tumbuhan bila dibandingkan dengan mikroba. Sel-sel tumbuhan umumnya tumbuh dengan sangat lambat, untuk agregat sel, jika diplating tidak akan tumbuh bila kerapatannya rendah dan menunjukkan ketidakstabilan kromosom dan ploidy. Kesulitan-kesulitan ini tidak mengecualikan manipulasi sel-sel tanaman yang sukses, tetapi menyebabkan lambatnya kemajuan.

a) Seleksi Visual
Banyak lini set yang menghasilkan bermacam-macam senyawa pigmen dalam jumlah besar sudah diseleksi bertahun-tahun dengan seleksi visual. Seleksi pada kultur Haplopappus gracilis telah dilakukan untuk mendapatkan lini sel yang menghasilkan antosianin tinggi. Sedang lini sel yang menghasilkan pigmen betlain secara stabil telah diisolasi dari kalus Beta vulgaris dengan seleksi visual. Selanjutnya pads kultur wortel (Daucus carota) telah diseleksi lini-lini set yang menghasilkan B-carotene dan lycopene dalam jumlah yang berbeda dari koloni¬koloni hasil plating yang telah diperlakukan mutagenesis (Nishi et al., 1974). Seleksi visual jugs digunakan pads kultur set ubi jalar untuk menghasilkan antosianin (Nishi et al,. 1974) Mok et al. (1976) melakukan inisiasi kalus dari beberapa wortel yang mempunyai fenotipa berbeda yaitu merah, gelap, oranye, oranye terang, kuning dan putih. Vairasi-variasi pads warna ini dicatat pads lini-lini yang diturunkan dari somber yang sama. Bagaimanapun beberapa hubungan terhadap sober kultur, seperti karoten adalah senyawa dominan pads kultur yang berasal dari wortel warna kuning dan putih. Kandungan karotene bervariasi tetapi komponen utama sama dengan yang ada pada akar. Lycopne adalah senyawa utama pada kalus merah yang berasal dari wortel yang bewarna oranye. Kinetin dan 2,4-D mempengaruhi kandungan pigmen yang dihasilkan. Sedang kultur yang berasal dari akar tunggal wring memiliki warna yang berbeda dan kandungan karoten yang bervariasi. Tanaman yang berasal dari regenerasi lini-lini yang berbeda tersebut semuanya mempunyai fenotipa yang sama dengan asal eksplan awalnya. Karena itu variasi yang terlihat pada pigmen-pigmen kultur asal D. ca-rota namapknya tidak berasal dari sel-sel yang mengalami mutasi.
Meskipun pigmen yang sudah diseleksi untuk kultur mungkin tidak cukup bernilai secara ekonomi, metoda ini mungkin dapat dirancang untuk menyeleksi senyawa lain yang berharga yang tidak berarna, jika terdapat korelasi antara senyawa tersebut dengan pigmen yang dapat diseleksi search fluorescence untuk deteksi, etrgantung pada senyawa-senyawa yang dicari.

a) Seleksi Berdasarkan Analisis Kimia
Dengan metode Zenk et al. (1977) mempergunakan strategi-strategi berikut ini unytuk menyeleksi lini-lini yang menghasilkan serpentin dan ajmalicine dalam jumlah besara dari Catharathus roseus:
(1) Mempergunakan kalus yang berasal dari tanaman yang mempunyai kandunan senyawa tersebut dalam jumlah besar.
(2) Menyeleksi lini-lini varian yang mampu memproduksi senyawa-senyawa tersebut seoptimal mungkin.

Analisa kandungan kedua alkohol tersebut pertama kali berasal dari ekstrak akar dari 184 tnaman Catharathus roseus yang berasal dari tempat yang berbeda dimana tanaman-tanaman tersebut kemudian ditumbukan dalam kondisi yang terkontrol. Kandungan kedua alkohol tersebut berbeda sangat banyak. Kemudian kalus diinisiasikan dari bibit yang berasal dari tanaman yang menyerbuk sendiri yang mempunyai potensi alkohol tinggi dan rendah. Kalus ini kemudian ditanam pada medium yang sebelumnya telandiketahui menghasilkan alkaloid. Tujuh buah kalus yang berasal dari bibit individu dari tanaman yang kandungan alkaloidnya rendah.
Seleksi untuk mendapatkan kalus yang mempunyai kandungan terpentin tinggi dilakukan dengan melakukan filtrasi kultur sel untuk mendapatkan sel tunggal dan agregat kecul yang kemudian dimokulasikan pada medium padat dan petri dish (plating). Koloni-koloni sel yang terbentuk kemudian dianalisis kandungan alkaloidnya dan sebagaimana diharapkan, terdapat variasi yang tinggi (dari 0 sampai 1.4% serpentin dan 0 sampan 0.8 % ajmailicine yang dihitung berdasarkan kering). Koloni yang menghasilkan alkoloid dalam jumlah besar diisolasi, kemudian dokulturkan pada media cair, kemudian diinokultasikan lagi pada media padat pada petri dish. Setelah utuh lini yang menghasilkan alkohol dalam jumlah besar dapat diisolasi.
Optimasi produksi lini tersebut dilakukan dengan menambahkan prekursor. Produksi optimal dicapai pada medium dasar Linsmaier-Skong dengan IAA 10-6, 5 x 10-6 M Ba, 5% sukrosa dan 0.05% L-tryptophan. Kecepatan produksinya 162 mg/1 serpentin yang dihasilkan oleh 1 line dan 77 mg/l serpentin dan 264 mg/1 ajmalicine. Produksi ini tercapai selama fase pertumbuhan, selama 30 hari. Produksi lini ini berfluktuasi, tetapi produksi yang tinggi dapat selalu dimantapkan kembali.
Percobaan Emawati et al., (1991) dengan mempergunakan kultur Kalus Polygonum tinchtorium Ait untuk menghasilkan antosianin juga menunjukkan bahwa dari enam kultivan yang diberikan perlakuanberbagai zat pengatur tumbuh dengan berbagai konsentrasi, hanya dua kultivar yang mampu menghasilkan antosianin. Dari kalus yang ada, terdapat variasi kandungan antosianinnya. Selanjutnya dengan seleksi agregat dapat diperoleh lini kalus yang mempunyai kandungan antosianin empat kali lebih besar daripada kandungan kalus awalnya.

b) Seleksi Berdasarkan Ukuran Agregat Sel
Seleksi ini dilakukan oleh Kinnersley dan Dougall (1980) pada kultur sel wortel liar untuk menghasilkan senyawa antosianin. Seleksi ini dilakukan berdasarkan pengamatan bahwa agregat sel yang kecil secara khusus mempunyai kandungan natosianin yang tinggi.
Media yang dipakai adalah media W.C. Imp (Wild-carrot medium, Improved anthocyanin production) yang dimantapkan oleh Dougall dan Weyranch (1980). Media dalam bentuk cair sebanyak 50 ml diisikan kedalam erlenmeyer 250 ml. Erlenmeyer dikocok pada shaker berputar pada kecepatan 112 rpm dalam keadaan gelap pada suhu 200C. sesudah 14 hari, sampel diambil untuk sub kultur dan analisa kandungan antosianinnya dan distribusi ukuran agregat selnya. Sub kultur secara rutin disiapkan dengan menginokulasikan 50 ml medium segar dengan 2,5 ml kultur. Agregat sel yang berukuran sel lebih besar dari pada 170 μm diisolasi dengan menumpahkan kultur melewati saringan yang berdiameter 3,5 cm dari stainless steel dan ukurannya 170 cm kedalam gelas piala yang berukuran 250 ml. agregat hasil seleksi dicuci selama medium segar 20 ml. Agregat yang lebih kecil dari 63 μm disiapkan dengan menseleksi kultur dengan menggunakan saringan berukuran 63 μm. Kultur suspensi yang mengandung agregat yang lebih kecil daripada 63 μm disentrifugasi pada 200 gr selama 20 menit dan pelletnya disuspensi lagi dengan mendium segar 10 ml. Seleksi dilakukan sampai 12 passage. Pada passage ke-8, kandungan antosianin yang relative tinggi diperoleh yaitu 3 kali dari kultur awalnya.
Perbedaan ukuran yang berkorelasi dengan kandungan antosianin ini mungkin dapat diterapkan berdasarkan pada distribusi sitokoinin yang berbeda diantara agregat dari ukuran yang berbeda. Tingkat sitokinin yang tinggi menghambat akumulasi antosianin dan menghambat pemisahan sel.
Hal ini menyebabkan agregat sel yang besar mempunyai kandungan antosianin yang rendah. Untuk mendukung hal ini, maka ditambahkan kinetin pada agregat sel yang kecil yang menyebabkan peningkatan ukuran agregat sel dan penurunan yang paralel pada antosianin yang dihasilkan.

3. Penggunaan Elicitor untuk Produksi Metabolit sekunder
Penggunaan kultur suspensi tanaman untuk memproduksi senyawa-senyawa biokimia sampai saat ini masih jauh dari target yang diinginkan. Untuk memperbaiki produk yang dihasilkan, bermacam-macam teknik sudah dikembangkan untuk menyeleksi kultur sel tanaman yang dihasilkan senyawa dalam jumlah besar. Dasar yang digunakan dalam seleksi ini adalah variasi somaklonal. Klon hasil seleksi kemudian disub kultur. Selama periode sub kultur ini, klon yang menghasilkan produk dalam jumlah besar tersebut, sering menunjukkan penurunan produktivitas, sehingga untuk memproduksi dalam skala besar menjadi sulit. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan seleksi berulang pada waktu tertentu.
Sebuah pendekatan lain untuk memperbaiki produk yang dihasilkan pada kultur sel tanaman adalah alterasi metabolisme sel melalui faktor-faktor eksternal, misalnya stress. Kultur sel tanaman pada dasarnya bersifat totipotensi karena itu semua produk yang ada pada tanaman induk seharusnya juga disinetsi pada kultur dalam kondisi yang tepat. Pada interaksi antara tanaman inang dengan pathogen yang biasanya bersifat spesifik species, infeksi pathogen menginduksi pembentukan produk (fitoaleksi) yang toksik terhadap organism yang menginvasi. Enzim-enzim dari metabolisme sekunder juga diinduksi oleh pathogen yang menginvasi yang menghasilkan fitoaleksin. Dalam hal ini elicitor berperan penting dalam menginduksi enzim yang terlibat dalam siklus metabolisme.
Elicitor yang dipakai dapat berupa fraksi karbohidrat yang diambil dari kultur suspense cendawa atau ekstrak yeast, atau lebih dikenal sebagai glucas. Struktur glucan yang diperlukan untuk aktivitas elicitor adalah (1,6)-B-B-glucopyranosyl. Sedang molekul aktif terkecilnya adalah glukoheptose.
Dosis elicitor yang dipakai juga menentukan efektivitasnya dalam menginduksi senyawa yang diinginkan. Dosis yang terlalu tinggi menyebabkna timbulnya gejala nekrosa yaitu terjadinya pencoklatan sel. Dosis yang tepat ddapat ditentukan dengan percobaan, dan tergantung pada jenis elicitor yang dipakai serta sel tanaman yang diberi perlakuan. Pada kultur suspense sel kedelai, elicitor yang diberikan berasal dari cendawan Phytopthora mega sperma, dan dosis yang diberikan adalah untuk 20 μg elicitor per mg berat kering sel untuk menginduksi sintesis senyawa-senyawa yang merupakan isomer glyceollin. Apabila elicitor yang dipakai berasal dari ekstrak yeast, konsentrasi yang dipakai adalah 5,2 mg/ml dari ekstrak yang sudah dianalisis. Pada kultur Tabernaemonta spp.,dosis yang dipakai adalah 100mg cellulase, atau 100gr pectinase atau 100 mg suspense Mycellium aspergillus niger untuk menghasilkan indole alkolodi apparicine sebagai salah satuu produk utama. Pada kultur suspense thalictrum rugosum dosis elicitor 200 μg/g berat basah sel menghasilkan berberin maksimum.
Pemberian elicitor dapat dilakukan pada berbagai fase pertumbuhan sel, tetapi nampaknya tidak terdapat keserupaan antara sel yang diberi perlakuan elicitor dengan sel tanpa perlakuan elicitor. Pada kultur thalictrum rugosum, berberine dihasilkan berasosiasi dengan pertumbuhan sel. Tetapi pada kultur sel yang diberi elicitor produk berberin tertinggi dipakai apabila elicitor pada fase lag tidak mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi berberin. Pemberian pada fase stasioner mengaskibatkan terjadinya penurunan berrat kering total yang lebih besar daripada pemberian pada fase pertumbuhan eksponensial, tetapi pemberian pada kedua fase ini meningkatkan hasil berberin. Perbedaan ini mungkin terjadi pada sel-sel yang berada pada fase awal pertumbuhan, sel tidak memproduksi tyrosine atau prekutsor-prekursor lain yang terlibat pada sintesa berberin. Sebab lain mungkin enzim-enzim yang bertanggug jawab pada sintesa berberin tidak diinduksi pada sel-sel muda tersebut. Pada kultur sel Tabernae Montana spp. elicitor diberikan pada saat kultur berumur 10 hari yang merupakan fase akhir pertumbuhan ekponensial. Pada kultur suspense sel tembakau pemberian elicitor dilakukan pada fase pertumbuhan eksponensial.
Frekuensi pemberian elicitor juga dapat dilakukan lebih dari satu kali, teragantung pada jenis sistem yang digunakan dan juga jenis tanaman yang dikulturkan. Pada kultur Papaver somniverum L. yang dikulturkan dengan proses semi continous, elicitasi dengan sanguinarine (SGE) dan dihydrosanguinarine (DSGE). Elisitas yang sama, hanya mediumnya yang diganti. Elicitasi kembali ini menunjukkan peningkatan sensivitas kultur terhadap elicotir yang diberikan (pertumbuhan menurun, produknya meningkat). Hal ini membawa harapan untuk memudahkan dalam penyusunan sistem produksi secara besar-besaran. Pada kultur suspense tanaman lainnya elicitor diberikan hanya sekali pada sel yang sama.
Waktu yang diperlukan oleh sel untuk menghasilkan produk dalam jumlah maksimum setelah pemberian elicitor berbeda-beda tergantung jenis kulturnya. Pada kultur suspense sel tembakau, capsidiol mencapau jumlah maksimum antara 15 samapai 20 jam sesudah sel diberi perlakuan elicitor. Pada kultur T. rugosum, berbeda mencapai jumlah maksimal 120 jam sesudah kultur diberi perlakuan elicitor. Sedang pada kultur Papever somniforum L. SGE dan SDGE dipanen dari sel sesudah sel berumur 14 hari setelah diberi perlakuan. Pada kultur Tabernaemontana spp. pemanenan dilakukan pada saat kultur berumur 4 hari setelah kultur diberi perlakuan elicitor. Hal ini menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder tidak tergantung pada konsentrasi elicitor.
Suatu hal yang menarik, pemberian elicitor mampu menaikkan hasil pada produksi senyawa yang diinginkan dan juga menghasilkan senyawa yang tidak dihasilkan oleh kultur tanpa elicitor. Pada kultur suspense sel tembakau, sel yang diberi perlakuan elicitor menghasilkan capsidiol lebih dari 10 μg/g berat basah pemberian elicitor pada kultur Thalictrum rugosum menghasilkan berberin 4-4,5% berat kering, sedang kultur yang sama tanpa elicitor hanya menghasilkan berberin 0,5% berat kering kultur. Pada kultur Tabernaemontana spp., pemberian elicitor selain meningkatkan produksi de novo zat bioaktif antimikroba yang tergolong triterpene, juga meningkatkan berat basah total. Sedang pada kultur Papever somniforum L. kultur yang mengalami elicitasi menghasilkan DSGE dan SGE sedang kultur yang tidak dielicitasi hanya menghasilkan SGE. Jumlah total DSGE dan SGE yang dihasilkan oleh kultur yang tidak dielicitasi.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Keuntungan pemakaian teknik kultur jaringan untuk memproduksi senyawa metabolit sekunder antara lain:
a. Tidak tergantung faktor lingkungan (hama, penyakit, iklim, hambatan geografis)
b. Sistem produksi dapat diatur, produksi dapat dilakukan pada saat dibutuhkan dan dalam jumlah yang diinginkan.
c. Kualitas hasil produksi lebih konsisten
d. Mengurangi penggunaan lahan
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi senyawa metabolit sekunder
2. Faktor-faktor yang memengaruhi produksi senyawa metabolit sekunder
a. Ekspresi sintesis senyawa metabolit sekunder
b. Asal eksplan
c. Pemantapan kultur suspense sel
d. Kondisi-kondisi yang mempengaruhi kultur in vitro
3. Usaha-usaha memperbaiki produksi metabolit sekunder
a. Penggunaan fusi sel untuk produksi senyawa metabolit skunder
b. Seleksi sel
c. Seleksi visual
d. Seleksi berdasarkan analisis kimia
e. Seleksi berdasarkan ukuran agregat sel
f. Penggunaan elicitor untuk produksi metabolit sekunder
e. Seleksi visual
f. Seleksi berdasarkan analisis kimia
g. Seleksi berdasarkan ukuran agregat sel
h. Penggunaan elicitor untuk produksi metabolit sekunder


DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Fauziyah.2008. Kultur Jaringan. Medan; FMIPA UNIMED

http://bloginvitro.blogspot.com/2010/01/kultur-jaringan.html diakses 15 maret 2010
http://e-learning.unram.ac.id/KulJar/BAB%20VII%20Kultur%20Kalus%20dan %20Suspensi/VII%20BAB%20VII.htm

http://e-learning.unram.ac.id/KulJar/BAB%20VII%20Kultur%20Kalus%20dan %20Suspensi/VII1%20Perkembangan%produksi%20senyawa%20Metabolik%20Sekunder%20Melalui%20KUltur%20Jaringan.htm

http://enzel-ria.blogspot.com/2009/10/definisi-aplikasi-dan-sejarah-kultur.html

http://hardiprast.blogspot.com/2009/01/kajian-kalus-rosa-hibrida-dengan.html diakses 15 maret 2010

http://ria.cahya.tripod.com/ria5.htm

http://www.situshijau.co.id/tulisan.php?act=detail&id=113&id_kolom=13

http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/06223/any_fitriani.htm

Lenni, S.,2006. Senyawa Terpenoid dan Steroida. FMIPA Universitas Sumatera Utara

Syahmi Edi. 2010 Bioteknologi. Medan; FMIPA UNIMED

Damayanti, D. dkk.2007. regenerasi Pepaya Melalui Kultur In Vitro. Bogor; IPB



0 comments:

Posting Komentar

Back to TOP